Cari Blog Ini

Selasa, 15 November 2011

TafsiranMazmur 133:1-3



Ø  Asal-usul Mazmur 133:1-3

Lima belas mazmur (Mazmur 120-134) dalam bahasa Inggris disebut "Songs of Ascents" (yaitu "Nyanyian Pendakian" atau anak-anak tangga). Beberapa orang beranggapan bahwa frasa ini mengacu kepada penunjuk waktu dengan bayangan matahari buatan Raja Ahas. Bayangan mundur ke belakang sepuluh derajat pada alat ini sebagai jaminan bahwa Allah menambahkan 15 tahun lagi kepada Raja Hizkia untuk memerintah dengan tenang; mazmur-mazmur ini kemudian dikumpulkan untuk memperingati janji itu (2Raj 20:6-10; Yes 38:5-8). Banyak orang percaya bahwa frasa "Nyanyian Pendakian" mengacu kepada mazmur-mazmur yang dinyanyikan orang Yahudi bersama-sama manakala mereka "naik" ke Yerusalem sebagai peziarah untuk merayakan hari raya kudus mereka.

Ø  Penafsiran Mazmur 133:1-3

Kata nyanyian ziarah dari Daud ini menggambarkan situasi saat itu, di mana kebiasaan orang Israel yang berkumpul beramai-ramai membangun tenda untuk merayakan hari-hari perayaan tertentu. Nyanyian ziarah bukan berarti nyanyian ke kuburan tapi nyanyian arak-arakan karena bangsa Israel waktu itu merayakan hari-hari tertentu. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya itulah kata-kata pembukaan dimana Daud mau menggambarkan suasana umat berbagai penjuru Israel berkumpul di Yerusalem di dalam kerukunan, keakuran, keharmonisan, dan keguyuban. Pemazmur menggambarkan berkat-berkat kerukunan itu dalam dua gambaran. Yang pertama, “seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya”. Minyak mempunyai makna kesukaan, keharuman, ketentraman, juga penyucian. Sehubungan dengan minyak pengurapan imam, kelimpahan minyak urapan menggambarkan bahwa Tuhan memberkati umatnya dengan berkelimpahan melalui persekutuan mereka. Kedua, akibat atau dampak kesatuan/kerukunan itu digambarkan juga “seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion”. Embun sebagai kesegaran ilahi karunia kehidupan yang berkemenangan. Pengkaitan gunung Hermon yang terletak di Kerajaan Israel Utara dan gunung-gunung Sion di Kerajaan Israel Selatan (Yerusalem) memberi petunjuk bahwa (1) Walaupun kerajaan Israel Utara dan Selatan mempunyai pemerintahan berbeda tetapi mereka adalah saudara yang seharusnya hidup rukun. Dan Allah akan memberikan berkatNya kepada umatNya apabila mereka hidup rukun, hidup dalam persaatuan, (2) Walaupun secara geografis, kedua lokasi Gunung Hermon dan Sion tersebut jauh sekali, tapi adalah sebuah mujizat jika embun dapat mengalir begitu jauhnya. Begitulah kasih dan kuasa Tuhan mengalir ke semua manusia, apalagi ke setiap anak-Nya yang hidup dalam persekutuan yang rukun. Sesungguhnya hidup dalam persekutuan yang rukun/harmonis sudah merupakan mujizat anugerah ilahi dimana berkat pribadi saling dibagikan untuk keberuntungan bersama. Persekutuan demikianlah yang menyenangkan hati Tuhan sehingga Ia mencurahkan berkat-berkatnya atas mereka.

Ø  Konteks Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata “Plural” dan “Isme”. Plural artinya berbagai/beragam/bermacam – macam. Dalam paham sosial kemasyarakatan ini berarti suatu komunitas masyarakat yang sangat beragam, bisa karena latar belakang Suku, Bahasa, Agama, Ekonomi, Politik, Warna kulit dan sebagainya. Bunyi Isme sendiri berarti aliran/penganut/pengikut. Jadi kata PLURALISME memiliki arti aliran atau penganut atau pengikut paham bahwa perbedaan atau keragaman itu hal yang wajar. Bila dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat khususnya di Indonesia, berarti memberi peluang dan menghargai keragaman dalam masyarakat Indonesia. Artinya, ada ruang dan tempat bagi seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda – beda itu.[1] Demikian halnya dengan masyarakat Maluku, yang jika dibandingan dengan masyarakat di daerah lain, jumlah penduduknya masih sedikit karena luas wilayahnya pun masih tergolong kecil dari pulau – pulau lain yang ada di Indonesia. Namun, masyarakat Maluku juga memiliki latar belakang yang berbeda atau beragam, tetapi keragaman itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, karena masyarakat Maluku merupakan masyarakat yang majemuk. Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan, menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan tetapi justru mengakui bahwa ada hal – hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan misalnya dalam bidang agama dan kehidupan sosial bukanlah berarti membuat penggabungan seperti halnya “gado-gado” dimana yang menjadi kekhasan itu terlebur atau hilang, melainkan di dalam pluralisme atau kemajemukan sesuatu yang besifat kekhasan dan yang membedakan agama bahkan kehidupan sosial yang satu dengan yang lain itu tetap ada dan tetap dipertahankan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta tujuan atau cita-cita hidup terdalam yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan batin. Namun dari lain sisi, manusia berbeda satu sama lain, baik secara individual atau perorangan maupun komunal atau kelompok, dari segi eksistensi atau perwujudan/pengungkapan diri, tata hidup dan tujuan hidup. Sedangkan pada kenyataannya manusia yang sama secara essensial dan berbeda secara eksistensial itu pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara perorangan/individual maupun secara kelompok/komunal. Oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kemajemukan harus diterima demi kemanusiaan. Manusia yang hakekatnya adalah makhluk sosial yang selalu hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara individual maupun secara komunal ini juga merupakan masyarakat yang agamawi. Maksudnya yaitu manusia memiliki hak untuk percaya kepada sang pencipta. Dan seperti yang diketahui bahwa agama yang manusia anut itu berbeda satu dengan yang lain. Agama Islam bukan agama Yahudi, agama Kristen Protestan bukan agama Kristen Katolik, dan agama Budha bukan agama Hindu. Tetapi dalam berbagai hal satu sama lain juga ada persamaannya. Sebaliknya orang yang lebih teliti lagi akan mengalami kesulitan apabila ia harus secara tepat menunjuk mana segi – segi persamaan antara satu agama dengan yang lainnya, juga apabila harus memformulasikan secara memuaskan segi – segi perbedaan antara satu agama dengan yang lainnya. Biasanya setelah diteliti dengan seksama hal – hal yang seolah – olah sama dari satu agama dengan yang lainnya, ternyata terdapat perbedaan – perbedaan. Makin mendalam orang meneliti dua sistim keagamaan, akan makin tampak bahwa paralel antara satu ajaran agama dengan lainnya adalah hanya merupakan pandangan sepintas lalu saja.[2]  Dari satu segi ada kesamaan. Misalnya dalam setiap agama ada gambaran dan ajaran tentang “Sang Ilahi” (“Allah” atau sebutan lainnya) sebagai yang maha baik, maha sempurna, maha kuasa, asal dan tujuan hidup akhir dari manusia dan segala sesuatu yang baik. Juga ada gambaran tentang “surga”, kebahagiaan, ketenteraman, damai sejahtera, yang merupakan cita-cita dan tujuan akhir hidup setiap orang. Dari segi lain ada rupa-rupa perbedaan karena adanya perbedaan persepsi serta keterbatasan manusia dalam upaya “mendalami” dan memahami serta menjalin hubungan dengan “Sang Ilahi” yang tidak terbatas dan tidak terjangkau oleh manusia. Oleh sebab itu timbullah berbagai macam iman kepercayaan dan agama. Maka sudah seharusnya  kemajemukan agama harus diterima, sebagai konsekwensi dari adanya iman dan agama.
Ø  Hubungan Teks dengan Konteks Maluku
Teks ini berbicara tentang semangat persekutuan dan harmoni persaudaraan di Israel Kuno, dimana persekutuan yang rukun dapat mendatangkan berkat bagi orang-orang yang ada dalam persekutuan itu. Karena persekutuan yang rukun adalah persekutuan yang menyenangkan hati Tuhan. Jika teks ini dikaitkan dengan konteks di Maluku, dimana Maluku sering mengalami konflik, dan konflik ini terjadi karena ada orang-orang yang tidak memahami arti pentingnya persekutuan itu, sehingga membuat kegaduhan. Konflik ini juga terjadi karena ada sikap saling membeda-bedakan satu dengan yang lain. Ada yang menganggap diri lebih berkuasa, lebih hebat dan lebih benar dari orang lain, oleh karena itu persekutuan yang rukun tidak dapat tercipta. Namun teks ini mengajarkan orang-orang di Maluku untuk belajar saling mengasihi dan tidak membeda-bedakan di dalam sebuah persekutuan, yang berbeda bukan berarti musuh melainkan yang berbeda tetaplah dianggap sebagai saudara. Dengan demikian, persekutuan tidak terpecah belah dan berkat Tuhan senantiasa melimpah di dalam persekutuan itu.









[1] John Stott, “Isu – Isu Global” Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih,2005), hlm.52
[2] Eka Darmaputera (ed.), “Konteks Berteologi di Indonesia”, (Jakarta : Gunung Mulia, 2004), hlm. 113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar