A. Metode Penelitian Teologi
Setelah saya membaca sebuah buku Teologi yaitu:
Judul buku : Rancang Bangun Teologi Lokal
Pengarang : Robert J. Schreiter, C. PP. S.
Penerbit : BPK Gunung Mulia
Jumlah Halaman : 262 Halaman
Maka yang saya lihat dari buku ini yaitu bahwa pengarang menulis buku ini dengan menggunakan Metode Penelitian Teologi Kontekstual.
B. Isi Buku
BAB 1 menjelaskan tentang pergeseran yang terjadi dalam perspektif berteologi yang menimbulkan perubahan dari orang Kristen secara khusus dalam pemahaman tentang Injil. Dimana yang dulunya pemahaman orang Kristen terhadap Injil hanya berpengaruh pada situasi masing – masing kini perhatiannya jauh lebih banyak diberikan pada situasi – situasi yang mau memberikan tanggapan terhadap Injil. Perubahan ini terjadi pada tahun 1950-an di bagian – bagian Afrika dan Asia. Istilah – istilah yang digunakan dalam pergeseran perspektif berteologi adalah “lokalisasi, kontekstualisasi, pempribumian, dan inkulturasi”, yang walaupun masing – masing memiliki makna dan nuansa yang berbeda namun semuanya menunjuk pada kebutuhan dan tanggung jawab orang Kristen dalam hal menanggapi Injil. Berbicara tentang teologi lokal maka ada berbagai usaha dan cara yang dapat digunakan untuk berteologi. Usaha dan cara yang digunakan ini didasarkan pada masing – masing pendekatan yang berhubungan dengan konteks budayanya. Ada tiga kategori yang berhubungan dengan teologi lokal yakni pendekatan penerjemahan, adaptasi dan kontekstual, yang mana pendekatan ini bukan hanya menunjukkan hubungan antara konteks budaya dan teologi tetapi juga menyatakan hubungan antara teologi dan komunitas tempat teologi itu terjadi. Berbicara tentang teologi lokal maka tentunya ada komunitas dari teologi lokal itu. Wawasan dan kuasa yang muncul dari orang – orang yang hidup dalam komunitas – komunitas kecil Kristen dengan pengalaman mereka dari pandangan – pandangan rakyat dan juga pengalaman mereka akan kitab suci itulah yang membentuk komunitas itu sendiri dengan konteks – konteks lokal. Dan di dalam komunitas inipun Roh Kudus bekerja sehingga komunitas ini dapat berkembang dalam pengajaran tentang kitab suci bagi daerah setempat.
BAB 2 menjelaskan tentang teologi lokal yang didefinisikan sebagai interaksi dinamis antara injil, gereja dan budaya, dimana interaksi dinamis itu dipandang sebagai interaksi yang dialektis, bergerak ke depan dan ke belakang di antara berbagai aspek injil, gereja dan budaya. Interaksi di dalam teologi lokal memunculkan pendapat untuk menyusun sebuah peta teologi lokal. Peta bukanlah resep untuk bisa sukses menciptakan teologi lokal. Namun peta adalah salah satu cara untuk merangkai paradigmatis keadaan budaya yang darinya kita bisa dapatkan semua masyarakat dan budaya lain. Sebuah peta berfungsi dalam cara yang agak berbeda – beda, maksudnya adalah sebuah peta ini memungkinkan siapapun terlibat dalam pengembangan teologi – teologi lokal guna menemukan dimana karyanya berdiri dalam kaitannya dengan keseluruhan usaha. Penggunaan peta untuk menyusun bagan hubungan – hubungan dalam teologi – teologi lokal mempunyai dua maksud penting yakni mengenai orientasi dan evaluasi. Dimana fungsi orientasi adalah menolong suatu komunitas menemukan dimana ia berada dalam keseluruhan proses pengembangan satu teologi lengkap. Fungsi evaluasi yang berkembang berdasarkan fungsi orientasi, adalah menolong menegaskan kekuatan dan kelemahan dalam apa yang dilakukan. Pengertian kata menyususn peta yang diusulkan disini berasal dari perkembangan – perkembangan di lapangan dan di dalam teori yang telah memperluas konsep peta ke berbagai bidang lainnya.
BAB 3 menjelaskan tentang proses penyusunan teologi lokal yang dimulai dengan studi tentang budaya dan bukan dengan penerjemahan tradisi gereja yang lebih luas ke dalam keadaan lokal. Metode ini muncul karena ada dua pertimbangan yakni pertama, menghindari orang – orang luar mengambil keputusan untuk mengikuti dan beradaptasi dengan suatu budaya lokal yang menurut mereka itu terbaik. Kedua, untuk mempertahankan keterbukaan dan kepekaan yang diharapkan terhadap suatu situasi local maka perlu ada penginjilan dan pengembangan gereja yang berlandaskan tentang Kristus di dalam situasi apapun. Orangpun tidak bisa dipuaskan dengan hanya sekali mendengar pada suatu budaya dan kemudian menyimpulkan bahwa kontekstualisasi gereja telah tercapai. Hal ini menyimpulkan bahwa budaya itu tidak berubah dan merupakan realitas yang statis. Bila orang mulai mempertimbangkan berbagai cara untuk mendengarkan budaya, maka ia dihadapkan dengan sejumlah pendekatan yang berbeda terhadap studi budaya. Pendekatan yang dilakukan dalam studi budaya adalah : pendekatan holistik, pendekatan jati diri, pendekatan perubahan sosial. Di dalam studi tentang budaya, kita mengenal model semiotik, dimana model ini bertujuan untuk memahami budaya dengan memusatkan perhatian pada sistem – sistem tanda dalam teks – teks budaya. Model ini memberikan jalan untuk memungkinkan potensi simbolis suatu budaya menjadi jauh lebih nyata.
BAB 4 menjelaskan tentang teologi yang berakar dalam budaya dan mengambil bentuk – bentuk budaya. Tetapi peningkatan yang dramatis dalam jumlah budaya yang kini ikut membentuk gereja, yang semuanya mencari jati diri Kristen digabungkan dengan perjuangan – perjuangan mereka untuk bebas dari penindasan sosial – ekonomi dan politik, membuat usaha mengembangkan kepekaan yang lebih besar terhadap teologi dan konteknya yang semakin mendesak. Teologi sering didefinisikan sebagai iman yang mencari pemahaman. Teologi – teologi local membuat kita amat sadar bahwa “pemahaman” itu sendiri amat diwarnai oleh konteks budaya. Ada beberapa cara yang dapat dipegang dalam mengatasi kesulitan – kesulitan dalam perjumpaan antara budaya dan tradisi gereja yakni, cara pertama yaitu orang menyusun kembali kesaksian – kesaksian Perjanjian Baru ke dalam suatu tipe ideal dan komunitas local. Cara kedua, melakukan perjumpaan antara tradisi dan situasi lokal dengan membahas tema – tema abadi dalam teologi dari suatu pemahaman lokal. Cara ketiga, perjumpaan dengan membahas masalah terminologi dari teologi dan budaya.
BAB 5 menjelaskan tentang tradisi dan jati diri Kristen dimana tradisi dapat membangkitkan masalah bagi gereja – gereja yang sementara membangkitkan teologi – teologi lokalnya. Gereja – gereja tidak mencoba untuk mengikis atau menghindari aspek – aspek tradisi, melainkan ada kerinduan mendalam untuk tetap setia pada tradisi kerasulan dan untuk menjadi saksi – saksi yang setia pada injil dalam keadaan – keadaan mereka sendiri. Ada tujuh masalah yang berkaitan dengan tradisi dan jati diri Kristen dimana empat masalah pertama telah muncul dari berbagai masalah konkret yang telah diangkat dalam dialog antara teologi local dan tradisi. Sementara tiga masalah terakhir lebih bersifat refleksif dan merupakan hasil dari usaha menghadapi masalah – masalah konkret.
BAB 6 menjelaskan tentang agama rakyat dan agama resmi dimana agama rakyat pada umumnya dihina oleh para teolog sebagai cara pengungkapan iman yang perlu diatasi cepat atau lambat oleh suatu pemahaman injil yang lebih canggih. Namun dalam realitanya ternyata lebih rumit dari dugaan – dugaan yang ada karena sejumlah besar kekuatan telah memberikan sumbangan pada pemikiran ulang akan peranan agama rakyat sebagai suatu tanggapan Kristen yang otentik terhadap Injil. Banyak istilah yang digunakan untuk agama rakyat yakni “rakyat, khalayak, umum” dari penggunaan ketiga istilah ini jelas bahwa gejala yang diteliti tidak dilihat sebagai gejala yang bebas dari realitas – realitas lain. Agama rakyat kadang – kadang dikontraskan dengan agama resmi. Bila kita mengambil agama resmi sebagai keyakinan – keyakinan dan norma – norma yang telah ditetapkan dari suatu lembaga maka agama rakyat menjadi pola perilaku dan keyakinan yang entah bagaimana bisa lolos dari kendali para spesialis kelembagaan. Dalam pandangan ini agama rakyat dianggap sebagai penyimpangan dari norma. Maka tugas agama resmi adalah membawa agama rakyat agar segaris dengan norma yang mapan. Dari pemahaman pengembangan teologi – teologi local muncullah sejumlah pertimbangan yakni, pertama, keprihatinan akan agama rakyat tampaknya muncul dari pihak kelompok – kelompok resmi atau elit. Kedua, agama tampaknya dipahami sebagai suatu rangkaian gagasan yang kemudian membentuk suatu praktek khusus. Ketiga, ada kesan bahwa agama terjalin sangat rumit dan tidak bisa diusut kembali ke dalam jalinan – jalinan kehidupan manusia.
C. Kesimpulan
Penulis menjelaskan tentang pemahaman berteologi sesuai dengan konteks yang ada dimana Injil itu dapat diterima di dalam suatu budaya jika Injil itu bisa beradaptasi dengan baik, yakni Injil tidak berusaha untuk menghilangkan budaya melainkan Injil hanya mengkoreksi budaya – budaya yang tidak di landaskan dengan kebenaran Firman Allah. Injil dan budaya bisa berdialog dengan baik sehingga melahirkan suatu perubahan dalam Injil maupun budaya. Ketika Injil telah diterima di dalam satu komunitas maka muncullah konsep teologi lokal atau teologi yang harus selalu kontekstual. Dimana orang beriman menjelaskan arti imannya dalam kaitan dengan kenyataan hidup di suatu tempat atau wilayah tertentu. Namun itu tidak berarti bahwa berteologi secara lokal sempit dan terbatas pada tempatnya sendiri saja tanpa memperhatikan sesamanya orang beriman di tempat – tempat lain.
· Kelebihan dari buku “Rancang Bangun Teologi Lokal”
1. Judul bukunya telah menunjukkan bahwa keseluruhan dari isi buku ini berbicara tentang Teologi Kontekstual
2. Buku ini memberikan solusi untuk bagaimana seseorang dapat masuk dan melayani dalam suatu budaya tertentu.
· Kekurangan dari buku “Rancang Bangun Teologi Lokal”
1. Bahasa buku yang sulit untuk dipahami
2. Dalam setiap pembahasan di buku ini kurang disertai dengan gambaran atau contoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar