PENDAHULUAN
Dewasa ini banyak sekali realita yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada banyak hal unik dan mungkin sangat menggelitik karena keanehan-keanehan itu sendiri, yang diatas ingin selalu berada diposisi paling atas sementara yang dibawah ingin manapak lebih tinggi mencapai puncak yang paling atas, dan ada banyak hal yang membuat orang saling tarik menarik layaknya kepiting yang saling beradu untuk bisa keluar dari kerumunannya dan menikmati kebebasan yang wouw, ada pula berbagai realita, baik itu dalam keluarga, masyarakat sampai kepada bangsa dan negara. Dalam Negara kita, presiden diangkat karena suara terbanyak rakyat-rakyatnya tapi lucunya malah setelah dilantik dan menjalankan tugasnya, si Presiden malah menerima complain dari berbagai macam pihak termasuk orang-orang yang memberi suara untuk memilihnya dalam pemilu, bahkan lebih parahnya lagi mereka malah melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut sang pemimpin yang mereka pilih untuk turun dari jabatannya, hmm sungguh lucunya negeri ini (seperti judul sebuah film). Lain lagi realita yang terjadi dalam masyarakat dan terlebih khusus keluarga kita, tempat dimana basis pertama kita dalam mengenyah pendidikan sebelum pada akhirnya kita benar-benar “diterjunkan” kedalam sebuah wilayah yang luas yang kita namakan masyarakat atau lingkungan. Bagi sebagian orang, masyarakat atau lingkungan bergaul kita adalah tempat atau senjata yang ampuh bagi tujuan “pengrusakan” mental orang-orang muda, tapi sebagian lagi malah berpendapat bahwa lingkungan sekitar kita adalah tempat yang baik dalam menguji mental seseorang dan disitulah seseorang menemukan yang namanya “pendidikan alam”, awalnya saya kurang mengerti dengan istilah ini tapi setelah saya coba memahaminya malah saya menemukan kenyataan bahwa memang benar kalau masyarakat atau lingkungan tempat kita bergaul tidak ansee menjadi sesuatu yang sifatnya negative tapi juga ada sisi positif yang bisa kita temukan, dan saya menemukan bahwa dari lingkunganlah saya belajar bergaul dengan berbagai macam karakteristik, dari lingkunganlah saya belajar memahami dan menerima orang yang memiliki kebudayaan yang kontras dengan kebudayaan saya, dan dari lingkunganlah saya belajar bahwa sebuah kehidupan adalah sebuah pengorbanan, pengorbanan untuk memberi ataupun menerima sesuatu yang tak dapat diterima dengan logika kita. Bicara soal lingkungan kemudian saya coba kaitkan dengan kemajemukan sosial dan agama terlebih khusus di Maluku dalam kaitannya dengan peran para pemuda dalam pelayanannya.
Pertama-tama mari kita dudukan dulu, apa yang sebenarnya dapat kita mengerti dari pelayanan itu sendiri, oleh karena itu kita harus tahu arti pelayanan. Pelayanan dasar kata pelayan, pelayan adalah orang yang dipanggil untuk melayani umat manusia dimana saja sesuai dengan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kristus kepadanya. Sedangkan pelayanan adalah sebuah tindakan kongkrit yang dilakukan sesuai dengan bidang pelayanannya, misalnya pendeta tugasnya untuk melayani jemaat dan juga orang-orang yang terpuruk dan membutuhkan dorongan semacam melakukan diskusi pastoralistik, sedangkan bagi para petugas Lapas mereka bertugas untuk melayani para pelaku pidana atau yang kita kenal dengan sebutan narapidana. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebuah pelayanan adalah Sesuatu yang dilakukan berdasarkan kebutuhan konteks baik secara langsung maupun tidak langsung, siap maupun tidak siap. Sementara itu, pemuda adalah kelompok orang-orang yang dianggap memiliki competend dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam cara hidupnya. Bagi sebagian orang terlebih khusus para orangtua yang pola pikirnya awam, mereka masih menganggap pemuda merupakan bagian dari anak-anak dimana masih harus “disuap” dalam berbagai macam persoalan dan bagi saya pola pikir seperti itulah yang harus diluruskan karena pola pikir seperti itulah yang kemudian membuat anak-anak yang tumbuh dewasa kemudian menjadi sosok yang tidak mampu melakukan apa-apa, mereka tidak dapat berkembang untuk mengembangkan apa yang seharusnya mereka kembangkan, tidak mandiri sehingga pada akhirnya tidak ditemukan kemajuan dalam diri mereka sendiri akibat pola pikir yang bagi saya sudah terlalu awam untuk diterapkan bagi anak-anak zaman sekarang.
Pemuda adalah sesuatu yang sangat dekat bahkan identik dengan pergaulan, memang benar ada banyak bahkan berbagai macam pergaulan yang kita temukan dalam masyarakat dewasa ini yang kemudian menjadi alasan para orangtua untuk risau dan risih terhadap tumbuh kembang anak, tapi mari kita ambil sisi baiknya. Anak atau pemuda hendaknya dibiasakan untuk peka terhadap lingkungan sekitar dan diberi kesadaran akan berbagai macam keunikan dan kebudayaan orang-orang disekitarnya. Bukan hanya pribadi orang itu yang berbeda tapi juga ada berbagai macam agama, suku, ras dan golongan. Dan realita Indonesia, kemajemukan atas berbagai macam persoalan itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah atau biasa-biasa saja hanya diperlukan sentuhan sedikit oleh tangan-tangan para pemuda dalam menanggapi permasalahan dimaksud. Misalnya saja dalam menanggapi para penjual dipasar yang dengan kuat dan teguhnya mengais rejeki atau anak-anak putus sekolah yang kemudian mengadu nasibnya dalam kerasnya hidup baik itu sebagai penjual kantong kresek di pasar, menjadi tukang parkir dadakan disetiap sudut pertokoan bahkan yang lebih parahnya lagi mereka malah nekad menjadi para pramuria demi sesuap nasi yang mungkin juga tidak serta merta memberi kepuasan atau kekenyangan bagi perut mereka yang lapar. Disini kepekaan itu diuji, kepekaan pemuda dalam menanggapi isu yang marak terjadi.
Tujuan dari penulisan ini adalah agar kita lebih mengerti dan mengetahui lagi lebih jelasnya bagaimana dan seperti apa seharusnya pelayanan itu dijalankan terutama dikalangan anak-anak muda masa kini yang juga tumbuh dalam konteks atau kondisi masyarakat yang plural dalam kehidupan sosial masyarakatnya, kemudian kita mencoba melihat kemajemukan atau pluralitas sosial maupun agama itu seperti apa di Maluku.
ISI
Berbicara tentang “Pelayanan Pemuda dalam Kemajemukan Sosial dan Agama di Maluku” maka yang harus kita perhatikan adalah masalah kemajemukan sosial dan agama itu seperti apa? Dan bagaimana peranan pemuda dalam menghadapi masalah kemajemukan atau yang lebih dikenal dengan kata “Pluralisme” itu? Pluralisme berasal dari kata “Plural” dan “Isme”. Plural artinya berbagai/beragam/bermacam – macam. Dalam paham sosial kemasyarakatan ini berarti suatu komunitas masyarakat yang sangat beragam, bisa karena latar belakang Suku, Bahasa, Agama, Ekonomi, Politik, Warna kulit dan sebagainya. Bunyi Isme sendiri berarti aliran/penganut/pengikut. Jadi kata PLURALISME memiliki arti aliran atau penganut atau pengikut paham bahwa perbedaan atau keragaman itu hal yang wajar. Bila dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat khususnya di Indonesia, berarti memberi peluang dan menghargai keragaman dalam masyarakat Indonesia. Artinya, ada ruang dan tempat bagi seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda – beda itu.[1] Demikian halnya dengan masyarakat Maluku, yang jika dibandingan dengan masyarakat di daerah lain, jumlah penduduknya masih sedikit karena luas wilayahnya pun masih tergolong kecil dari pulau – pulau lain yang ada di Indonesia. Namun, masyarakat Maluku juga memiliki latar belakang yang berbeda atau beragam, tetapi keragaman itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, karena masyarakat Maluku merupakan masyarakat yang majemuk. Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan, menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan tetapi justru mengakui bahwa ada hal – hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan misalnya dalam bidang agama dan kehidupan sosial bukanlah berarti membuat penggabungan seperti halnya “gado-gado” dimana yang menjadi kekhasan itu terlebur atau hilang, melainkan di dalam pluralisme atau kemajemukan sesuatu yang besifat kekhasan dan yang membedakan agama bahkan kehidupan sosial yang satu dengan yang lain itu tetap ada dan tetap dipertahankan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta tujuan atau cita-cita hidup terdalam yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan batin. Namun dari lain sisi, manusia berbeda satu sama lain, baik secara individual atau perorangan maupun komunal atau kelompok, dari segi eksistensi atau perwujudan/pengungkapan diri, tata hidup dan tujuan hidup. Sedangkan pada kenyataannya manusia yang sama secara essensial dan berbeda secara eksistensial itu pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara perorangan/individual maupun secara kelompok/komunal. Oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kemajemukan harus diterima demi kemanusiaan. Manusia yang hakekatnya adalah makhluk sosial yang selalu hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara individual maupun secara komunal ini juga merupakan masyarakat yang agamawi. Maksudnya yaitu manusia memiliki hak untuk percaya kepada sang pencipta. Dan seperti yang diketahui bahwa agama yang manusia anut itu berbeda satu dengan yang lain. Agama Islam bukan agama Yahudi, agama Kristen bukan agama Katolik, dan agama Budha bukan agama Hindu. Tetapi dalam berbagai hal satu sama lain juga ada persamaannya. Sebaliknya orang yang lebih teliti lagi akan mengalami kesulitan apabila ia harus secara tepat menunjuk mana segi – segi persamaan antara satu agama dengan yang lainnya, juga apabila harus memformulasikan secara memuaskan segi – segi perbedaan antara satu agama dengan yang lainnya. Biasanya setelah diteliti dengan seksama hal – hal yang seolah – olah sama dari satu agama dengan yang lainnya, ternyata terdapat perbedaan – perbedaan. Makin mendalam orang meneliti dua sistim keagamaan, akan makin tampak bahwa paralel antara satu ajaran agama dengan lainnya adalah hanya merupakan pandangan sepintas lalu saja.[2] Dari satu segi ada kesamaan. Misalnya dalam setiap agama ada gambaran dan ajaran tentang “Sang Ilahi” (“Allah” atau sebutan lainnya) sebagai yang maha baik, maha sempurna, maha kuasa, asal dan tujuan hidup akhir dari manusia dan segala sesuatu yang baik. Juga ada gambaran tentang “surga”, kebahagiaan, ketenteraman, damai sejahtera, yang merupakan cita-cita dan tujuan akhir hidup setiap orang. Dari segi lain ada rupa-rupa perbedaan karena adanya perbedaan persepsi serta keterbatasan manusia dalam upaya “mendalami” dan memahami serta menjalin hubungan dengan “Sang Ilahi” yang tidak terbatas dan tidak terjangkau oleh manusia. Oleh sebab itu timbullah berbagai macam iman kepercayaan dan agama. Maka sudah seharusnya kemajemukan agama harus diterima, sebagai konsekwensi dari adanya iman dan agama.
Berbicara tentang kemajemukan sosial dan agama yang saat ini sering diperbincangkan di Indonesia maka para pemuda yang adalah penerus bangsa perlu memiliki peranan. Pemuda sering diidentikan dengan pergaulan, dalam hal ini bergaul dengan lingkungan sekitar, maka pemuda perlu menunjukan sikap dan tingkah laku yang baik. Dengan menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik maka pemuda juga dapat dipercayakan untuk memimpin bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang maju. Pemuda perlu berperan secara aktif untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa manusia ini harus hidup bersama, manusia saling membutuhkan, manusia juga saling berketergantungan satu dengan yang lainnya. Bahkan pemuda juga perlu membuka wawasan masyarakat bahwa sekalipun agama ini berbeda – beda namun masyarakat tidak perlu menunjukkan sikap diskriminasi bahkan fanatisme yang secara berlebihan. Apabila pemuda ingin menjelaskan kepada masyarakat mengenai pluralisme atau kemajemukan maka model yang harus pemuda gunakan adalah “Model Sintesis”, karena model sintesis ini memiliki sifat keterbukaan dan dialog. “Dalam dunia kontemporer-pascamodern ini, yang dipahami dengan apa yang disebut David Tracy sebagai pluralitas dan ambiguitas, kebenaran tidak akan dicapai dengan satu sudut pandang yang berupaya meyakinkan semua sudut pandang yang lain bahwa ia sendirilah yang benar.[3] Dengan demikian pemuda perlu menjelaskan kepada masyarakat bahwa apa yang menjadi kebenaran itu tidak dilihat dari satu sudut pandang saja melainkan dilihat dari sudut pandang yang lain.
PENUTUP
Pluralitas bukan sebuah pemisah tapi malah sebaliknya, pluralitas merupakan sebuah warna dalam hidup ini agar kemudian membuat dunia menjadi lebih menarik dan baik untuk dinikmati dengan segala macam lika-liku yang sering terjadi, menempa orang-orang atau masyarakat untuk lebih dewasa dan lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Berbeda bukan berarti tidak dapat disatukan malah perbedaan itulah yang kemudian dapat menjadi senjata ampuh untuk saling mengisi dan melengkapi orang-orang disekitar kehidupan kita. Menjadi muda bukanlah sebuah halangan untuk membuat sebuah pembaharuan yang berarti tapi malah dengan kepemudaan ini, kita belajar untuk tidak dipandang sebelah mata, dengan kepemudaan ini orang boleh saja menganggap kita kecil dan lemah, kita tidak perlu menonjolkan diri tapi pembuktian akan kualitas dan kuantitas kitalah yang akan menjadi bahan pertimbangan penilaian masyarakat.
[1] John Stott, “Isu – Isu Global” Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih,2005), hlm.52
[2] Eka Darmaputera (ed.), “Konteks Berteologi di Indonesia”, (Jakarta : Gunung Mulia, 2004), hlm. 113
[3] Stephen Bevans, “Model – Model Teologi Kontekstual”, (Maumere : Ledalero, 2002), hlm. 171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar