Cari Blog Ini

Selasa, 15 November 2011

Laporan buku "Rancang Bangun Teologi Lokal "


A.    Metode Penelitian Teologi

Setelah saya membaca sebuah buku Teologi yaitu:
            Judul buku          :   Rancang Bangun Teologi Lokal
            Pengarang           :   Robert J. Schreiter, C. PP. S.
            Penerbit              :   BPK Gunung Mulia
            Jumlah Halaman :  262 Halaman
Maka yang saya lihat dari buku ini yaitu bahwa pengarang menulis buku ini dengan menggunakan Metode Penelitian Teologi Kontekstual.

B.     Isi Buku
BAB 1 menjelaskan tentang pergeseran yang terjadi dalam perspektif berteologi yang menimbulkan perubahan dari orang Kristen secara khusus dalam pemahaman tentang Injil. Dimana yang dulunya pemahaman orang Kristen terhadap Injil hanya berpengaruh pada situasi masing – masing kini perhatiannya jauh lebih banyak diberikan pada situasi – situasi yang mau memberikan tanggapan terhadap Injil. Perubahan ini terjadi pada tahun 1950-an di bagian – bagian Afrika dan Asia. Istilah – istilah yang digunakan dalam pergeseran perspektif berteologi adalah “lokalisasi, kontekstualisasi, pempribumian, dan inkulturasi”, yang walaupun masing – masing memiliki makna dan nuansa yang berbeda namun semuanya menunjuk pada kebutuhan dan tanggung jawab orang Kristen dalam hal menanggapi Injil. Berbicara tentang teologi lokal maka ada berbagai usaha dan cara yang dapat digunakan untuk berteologi. Usaha dan cara yang digunakan ini didasarkan pada masing – masing pendekatan yang berhubungan dengan konteks budayanya. Ada tiga kategori yang berhubungan dengan teologi lokal yakni pendekatan penerjemahan, adaptasi dan kontekstual, yang mana pendekatan ini bukan hanya menunjukkan hubungan antara konteks budaya dan teologi tetapi juga menyatakan hubungan antara teologi dan komunitas tempat teologi itu terjadi.  Berbicara tentang teologi lokal maka tentunya ada komunitas dari teologi lokal itu. Wawasan dan kuasa yang muncul dari orang – orang yang hidup dalam komunitas – komunitas kecil Kristen dengan pengalaman mereka dari pandangan – pandangan rakyat dan juga pengalaman mereka akan kitab suci itulah yang membentuk komunitas itu sendiri dengan konteks – konteks lokal. Dan di dalam komunitas inipun Roh Kudus bekerja sehingga komunitas ini dapat berkembang dalam pengajaran tentang kitab suci bagi daerah setempat.
BAB 2 menjelaskan tentang teologi lokal yang didefinisikan sebagai interaksi dinamis antara injil, gereja dan budaya, dimana interaksi dinamis itu dipandang sebagai interaksi yang dialektis, bergerak ke depan dan ke belakang di antara berbagai aspek injil, gereja dan budaya. Interaksi di dalam teologi lokal memunculkan pendapat untuk menyusun sebuah peta teologi lokal. Peta bukanlah resep untuk bisa sukses menciptakan teologi lokal. Namun peta adalah salah satu cara untuk merangkai paradigmatis keadaan budaya yang darinya kita bisa dapatkan semua masyarakat dan budaya lain. Sebuah peta berfungsi dalam cara yang agak berbeda – beda, maksudnya adalah sebuah peta ini memungkinkan siapapun terlibat dalam pengembangan teologi – teologi lokal guna menemukan dimana karyanya berdiri dalam kaitannya dengan keseluruhan usaha. Penggunaan peta untuk menyusun bagan hubungan – hubungan dalam teologi – teologi lokal mempunyai dua maksud penting yakni mengenai orientasi dan evaluasi. Dimana fungsi orientasi adalah menolong suatu komunitas menemukan dimana ia berada dalam keseluruhan proses pengembangan satu teologi lengkap. Fungsi evaluasi yang berkembang berdasarkan fungsi orientasi, adalah menolong menegaskan kekuatan dan kelemahan dalam apa yang dilakukan. Pengertian kata menyususn peta yang diusulkan disini berasal dari perkembangan – perkembangan di lapangan dan di dalam teori yang telah memperluas konsep peta ke berbagai bidang lainnya.
BAB 3 menjelaskan tentang proses penyusunan teologi lokal yang dimulai dengan studi tentang budaya dan bukan dengan penerjemahan tradisi gereja yang lebih luas ke dalam keadaan lokal. Metode ini muncul karena ada dua pertimbangan yakni pertama, menghindari orang – orang luar mengambil keputusan untuk mengikuti dan beradaptasi dengan suatu budaya lokal yang menurut mereka itu terbaik. Kedua, untuk mempertahankan keterbukaan dan kepekaan yang diharapkan terhadap suatu situasi local maka perlu ada penginjilan dan pengembangan gereja yang berlandaskan tentang Kristus di dalam situasi apapun. Orangpun tidak bisa dipuaskan dengan hanya sekali mendengar pada suatu budaya dan kemudian menyimpulkan bahwa kontekstualisasi gereja telah tercapai. Hal ini menyimpulkan bahwa budaya itu tidak berubah dan merupakan realitas yang statis. Bila orang mulai mempertimbangkan berbagai cara untuk mendengarkan budaya, maka ia dihadapkan dengan sejumlah pendekatan yang berbeda terhadap studi budaya. Pendekatan yang dilakukan dalam studi budaya adalah : pendekatan holistik, pendekatan jati diri, pendekatan perubahan sosial. Di dalam studi tentang budaya, kita mengenal model semiotik, dimana model ini bertujuan untuk memahami budaya dengan memusatkan perhatian pada sistem – sistem tanda dalam teks – teks budaya. Model ini memberikan jalan untuk memungkinkan potensi simbolis suatu budaya menjadi jauh lebih nyata.
BAB 4 menjelaskan tentang teologi yang berakar dalam budaya dan mengambil bentuk – bentuk budaya. Tetapi peningkatan yang dramatis dalam jumlah budaya yang kini ikut membentuk gereja, yang semuanya mencari jati diri Kristen digabungkan dengan perjuangan – perjuangan mereka untuk bebas dari penindasan sosial – ekonomi dan politik, membuat usaha mengembangkan kepekaan yang lebih besar terhadap teologi dan konteknya yang semakin mendesak. Teologi sering didefinisikan sebagai iman yang mencari pemahaman. Teologi – teologi local membuat kita amat sadar bahwa “pemahaman” itu sendiri amat diwarnai oleh konteks budaya. Ada beberapa cara yang dapat dipegang dalam mengatasi kesulitan – kesulitan dalam perjumpaan antara budaya dan tradisi gereja yakni, cara pertama yaitu orang menyusun kembali kesaksian – kesaksian Perjanjian Baru ke dalam suatu tipe ideal dan komunitas local. Cara kedua, melakukan perjumpaan antara tradisi dan situasi lokal dengan membahas tema – tema abadi dalam teologi dari suatu pemahaman lokal. Cara ketiga, perjumpaan dengan membahas masalah terminologi dari teologi dan budaya.
BAB 5  menjelaskan tentang tradisi dan jati diri Kristen dimana tradisi dapat membangkitkan masalah bagi gereja – gereja yang sementara membangkitkan teologi – teologi lokalnya. Gereja – gereja tidak mencoba untuk mengikis atau menghindari aspek – aspek tradisi, melainkan ada kerinduan mendalam untuk tetap setia pada tradisi kerasulan dan untuk menjadi saksi – saksi yang setia pada injil dalam keadaan – keadaan mereka sendiri. Ada tujuh masalah yang berkaitan dengan tradisi dan jati diri Kristen dimana empat masalah pertama telah muncul dari berbagai masalah konkret yang telah diangkat dalam dialog antara teologi local dan tradisi. Sementara tiga masalah terakhir lebih bersifat refleksif dan merupakan hasil dari usaha menghadapi masalah – masalah konkret.
BAB 6 menjelaskan tentang agama rakyat dan agama resmi dimana agama rakyat pada umumnya dihina oleh para teolog sebagai cara pengungkapan iman yang perlu diatasi cepat atau lambat oleh suatu pemahaman injil yang lebih canggih. Namun dalam realitanya ternyata lebih rumit dari dugaan – dugaan yang ada karena sejumlah besar kekuatan telah memberikan sumbangan pada pemikiran ulang akan peranan agama rakyat sebagai suatu tanggapan Kristen yang otentik terhadap Injil. Banyak istilah yang digunakan untuk agama rakyat yakni “rakyat, khalayak, umum” dari penggunaan ketiga istilah ini jelas bahwa gejala yang diteliti tidak dilihat sebagai gejala yang bebas dari realitas – realitas lain. Agama rakyat kadang – kadang dikontraskan dengan agama resmi. Bila kita mengambil agama resmi sebagai keyakinan – keyakinan dan norma – norma yang telah ditetapkan dari suatu lembaga maka agama rakyat menjadi pola perilaku dan keyakinan yang entah bagaimana bisa lolos dari kendali para spesialis kelembagaan. Dalam pandangan ini agama rakyat dianggap sebagai penyimpangan dari norma. Maka tugas agama resmi adalah membawa agama rakyat agar segaris dengan norma yang mapan. Dari pemahaman pengembangan teologi – teologi local muncullah sejumlah pertimbangan yakni, pertama, keprihatinan akan agama rakyat tampaknya muncul dari pihak kelompok – kelompok resmi atau elit. Kedua, agama tampaknya dipahami sebagai suatu rangkaian gagasan yang kemudian membentuk suatu praktek khusus. Ketiga, ada kesan bahwa agama terjalin sangat rumit dan tidak bisa diusut kembali ke dalam jalinan – jalinan kehidupan manusia.   
C.    Kesimpulan
Penulis menjelaskan tentang pemahaman berteologi sesuai dengan konteks yang ada dimana Injil itu dapat diterima di dalam suatu budaya jika Injil itu bisa beradaptasi dengan baik, yakni Injil tidak berusaha untuk menghilangkan budaya melainkan Injil hanya mengkoreksi budaya – budaya yang tidak di landaskan dengan kebenaran Firman Allah. Injil dan budaya bisa berdialog dengan baik sehingga melahirkan suatu perubahan dalam Injil maupun budaya. Ketika Injil telah diterima di dalam satu komunitas maka muncullah konsep teologi lokal atau teologi yang harus selalu kontekstual. Dimana orang beriman menjelaskan arti imannya dalam kaitan dengan kenyataan hidup di suatu tempat atau wilayah tertentu. Namun itu tidak berarti bahwa berteologi secara lokal sempit dan terbatas pada tempatnya sendiri saja tanpa memperhatikan sesamanya orang beriman di tempat – tempat lain.

·         Kelebihan dari buku “Rancang Bangun Teologi Lokal”
1.      Judul bukunya telah menunjukkan bahwa keseluruhan dari isi buku ini berbicara tentang Teologi Kontekstual
2.      Buku ini memberikan solusi untuk bagaimana seseorang dapat masuk dan melayani dalam suatu budaya tertentu.
·         Kekurangan dari buku “Rancang Bangun Teologi Lokal”
1.      Bahasa buku yang sulit untuk dipahami
2.      Dalam setiap pembahasan di buku ini kurang disertai dengan gambaran atau contoh.

“Pelayanan Pemuda dalam Kemajemukan Sosial dan Agama di Maluku”


PENDAHULUAN
*                  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini banyak sekali realita yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada banyak hal unik dan mungkin sangat menggelitik karena keanehan-keanehan itu sendiri, yang diatas ingin selalu berada diposisi paling atas sementara yang dibawah ingin manapak lebih tinggi mencapai puncak yang paling atas, dan ada banyak hal yang membuat orang saling tarik menarik layaknya kepiting yang saling beradu untuk bisa keluar dari kerumunannya dan menikmati kebebasan yang wouw, ada pula berbagai realita, baik itu dalam keluarga, masyarakat sampai kepada bangsa dan negara. Dalam Negara kita, presiden diangkat karena suara terbanyak rakyat-rakyatnya tapi lucunya malah setelah dilantik dan menjalankan tugasnya, si Presiden malah menerima complain dari berbagai macam pihak termasuk orang-orang yang memberi suara untuk memilihnya dalam pemilu, bahkan lebih parahnya lagi mereka malah melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut sang pemimpin yang mereka pilih untuk turun dari jabatannya, hmm sungguh lucunya negeri ini (seperti judul sebuah film). Lain lagi realita yang terjadi dalam masyarakat dan terlebih khusus keluarga kita, tempat dimana basis pertama kita dalam mengenyah pendidikan sebelum pada akhirnya kita benar-benar “diterjunkan” kedalam sebuah wilayah yang luas yang kita namakan masyarakat atau lingkungan. Bagi sebagian orang, masyarakat atau lingkungan bergaul kita adalah tempat atau senjata yang ampuh bagi tujuan “pengrusakan” mental orang-orang muda, tapi sebagian lagi malah berpendapat bahwa lingkungan sekitar kita adalah tempat yang baik dalam menguji mental seseorang dan disitulah seseorang menemukan yang namanya “pendidikan alam”, awalnya saya kurang mengerti dengan istilah ini tapi setelah saya coba memahaminya malah saya menemukan kenyataan bahwa memang benar kalau masyarakat atau lingkungan tempat kita bergaul tidak ansee menjadi sesuatu yang sifatnya negative tapi juga ada sisi positif yang bisa kita temukan, dan saya menemukan bahwa dari lingkunganlah saya belajar bergaul dengan berbagai macam karakteristik, dari lingkunganlah saya belajar memahami dan menerima orang yang memiliki kebudayaan yang kontras dengan kebudayaan saya, dan dari lingkunganlah saya belajar bahwa sebuah kehidupan adalah sebuah pengorbanan, pengorbanan untuk memberi ataupun menerima sesuatu yang tak dapat diterima dengan logika kita. Bicara soal lingkungan kemudian saya coba kaitkan dengan kemajemukan sosial dan agama terlebih khusus di Maluku dalam kaitannya dengan peran para pemuda dalam pelayanannya.

*                  Masalah
Pertama-tama mari kita dudukan dulu, apa yang sebenarnya dapat kita mengerti dari pelayanan itu sendiri, oleh karena itu kita harus tahu arti pelayanan. Pelayanan dasar kata pelayan, pelayan adalah orang yang dipanggil untuk melayani umat manusia dimana saja sesuai dengan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kristus kepadanya. Sedangkan pelayanan adalah sebuah tindakan kongkrit yang dilakukan sesuai dengan bidang pelayanannya, misalnya pendeta tugasnya untuk melayani jemaat dan juga orang-orang yang terpuruk dan membutuhkan dorongan semacam melakukan diskusi pastoralistik, sedangkan bagi para petugas Lapas mereka bertugas untuk melayani para pelaku pidana atau yang kita kenal dengan sebutan narapidana. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebuah pelayanan adalah Sesuatu yang dilakukan berdasarkan kebutuhan konteks baik secara langsung maupun tidak langsung, siap maupun tidak siap. Sementara itu, pemuda adalah kelompok orang-orang yang dianggap memiliki competend dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam cara hidupnya. Bagi sebagian orang terlebih khusus para orangtua yang pola pikirnya awam, mereka masih menganggap pemuda merupakan bagian dari anak-anak dimana masih harus “disuap” dalam berbagai macam persoalan dan bagi saya pola pikir seperti itulah yang harus diluruskan karena pola pikir seperti itulah yang kemudian membuat anak-anak yang tumbuh dewasa kemudian menjadi sosok yang tidak mampu melakukan apa-apa, mereka tidak dapat berkembang untuk mengembangkan apa yang seharusnya mereka kembangkan, tidak mandiri sehingga pada akhirnya tidak ditemukan kemajuan dalam diri mereka sendiri akibat pola pikir yang bagi saya sudah terlalu awam untuk diterapkan bagi anak-anak zaman sekarang.
Pemuda adalah sesuatu yang sangat dekat bahkan identik dengan pergaulan, memang benar ada banyak bahkan berbagai macam pergaulan yang kita temukan dalam masyarakat dewasa ini yang kemudian menjadi alasan para orangtua untuk risau dan risih terhadap tumbuh kembang anak, tapi mari kita ambil sisi baiknya. Anak atau pemuda hendaknya dibiasakan untuk peka terhadap lingkungan sekitar dan diberi kesadaran akan berbagai macam keunikan dan kebudayaan orang-orang disekitarnya. Bukan hanya pribadi orang itu yang berbeda tapi juga ada berbagai macam agama, suku, ras dan golongan. Dan realita Indonesia, kemajemukan atas berbagai macam persoalan itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah atau biasa-biasa saja hanya diperlukan sentuhan sedikit oleh tangan-tangan para pemuda dalam menanggapi permasalahan dimaksud. Misalnya saja dalam menanggapi para penjual dipasar yang dengan kuat dan teguhnya mengais rejeki atau anak-anak putus sekolah yang kemudian mengadu nasibnya dalam kerasnya hidup baik itu sebagai penjual kantong kresek di pasar, menjadi tukang parkir dadakan disetiap sudut pertokoan bahkan yang lebih parahnya lagi mereka malah nekad menjadi para pramuria demi sesuap nasi yang mungkin juga tidak serta merta memberi kepuasan atau kekenyangan bagi perut mereka yang lapar. Disini kepekaan itu diuji, kepekaan pemuda dalam menanggapi isu yang marak terjadi.

*                  Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah agar kita lebih mengerti dan mengetahui lagi lebih jelasnya bagaimana dan seperti apa seharusnya pelayanan itu dijalankan terutama dikalangan anak-anak muda masa kini yang juga tumbuh dalam konteks atau kondisi masyarakat yang plural dalam kehidupan sosial masyarakatnya, kemudian kita mencoba melihat kemajemukan atau pluralitas sosial maupun agama itu seperti apa di Maluku.




ISI
Berbicara tentang “Pelayanan Pemuda dalam Kemajemukan Sosial dan Agama di Maluku” maka yang harus kita perhatikan adalah masalah kemajemukan sosial dan agama itu seperti apa? Dan bagaimana peranan pemuda dalam menghadapi masalah kemajemukan atau yang lebih dikenal dengan kata “Pluralisme” itu? Pluralisme berasal dari kata “Plural” dan “Isme”. Plural artinya berbagai/beragam/bermacam – macam. Dalam paham sosial kemasyarakatan ini berarti suatu komunitas masyarakat yang sangat beragam, bisa karena latar belakang Suku, Bahasa, Agama, Ekonomi, Politik, Warna kulit dan sebagainya. Bunyi Isme sendiri berarti aliran/penganut/pengikut. Jadi kata PLURALISME memiliki arti aliran atau penganut atau pengikut paham bahwa perbedaan atau keragaman itu hal yang wajar. Bila dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat khususnya di Indonesia, berarti memberi peluang dan menghargai keragaman dalam masyarakat Indonesia. Artinya, ada ruang dan tempat bagi seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda – beda itu.[1] Demikian halnya dengan masyarakat Maluku, yang jika dibandingan dengan masyarakat di daerah lain, jumlah penduduknya masih sedikit karena luas wilayahnya pun masih tergolong kecil dari pulau – pulau lain yang ada di Indonesia. Namun, masyarakat Maluku juga memiliki latar belakang yang berbeda atau beragam, tetapi keragaman itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, karena masyarakat Maluku merupakan masyarakat yang majemuk. Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan, menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan tetapi justru mengakui bahwa ada hal – hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan misalnya dalam bidang agama dan kehidupan sosial bukanlah berarti membuat penggabungan seperti halnya “gado-gado” dimana yang menjadi kekhasan itu terlebur atau hilang, melainkan di dalam pluralisme atau kemajemukan sesuatu yang besifat kekhasan dan yang membedakan agama bahkan kehidupan sosial yang satu dengan yang lain itu tetap ada dan tetap dipertahankan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta tujuan atau cita-cita hidup terdalam yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan batin. Namun dari lain sisi, manusia berbeda satu sama lain, baik secara individual atau perorangan maupun komunal atau kelompok, dari segi eksistensi atau perwujudan/pengungkapan diri, tata hidup dan tujuan hidup. Sedangkan pada kenyataannya manusia yang sama secara essensial dan berbeda secara eksistensial itu pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara perorangan/individual maupun secara kelompok/komunal. Oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kemajemukan harus diterima demi kemanusiaan. Manusia yang hakekatnya adalah makhluk sosial yang selalu hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara individual maupun secara komunal ini juga merupakan masyarakat yang agamawi. Maksudnya yaitu manusia memiliki hak untuk percaya kepada sang pencipta. Dan seperti yang diketahui bahwa agama yang manusia anut itu berbeda satu dengan yang lain. Agama Islam bukan agama Yahudi, agama Kristen bukan agama Katolik, dan agama Budha bukan agama Hindu. Tetapi dalam berbagai hal satu sama lain juga ada persamaannya. Sebaliknya orang yang lebih teliti lagi akan mengalami kesulitan apabila ia harus secara tepat menunjuk mana segi – segi persamaan antara satu agama dengan yang lainnya, juga apabila harus memformulasikan secara memuaskan segi – segi perbedaan antara satu agama dengan yang lainnya. Biasanya setelah diteliti dengan seksama hal – hal yang seolah – olah sama dari satu agama dengan yang lainnya, ternyata terdapat perbedaan – perbedaan. Makin mendalam orang meneliti dua sistim keagamaan, akan makin tampak bahwa paralel antara satu ajaran agama dengan lainnya adalah hanya merupakan pandangan sepintas lalu saja.[2]  Dari satu segi ada kesamaan. Misalnya dalam setiap agama ada gambaran dan ajaran tentang “Sang Ilahi” (“Allah” atau sebutan lainnya) sebagai yang maha baik, maha sempurna, maha kuasa, asal dan tujuan hidup akhir dari manusia dan segala sesuatu yang baik. Juga ada gambaran tentang “surga”, kebahagiaan, ketenteraman, damai sejahtera, yang merupakan cita-cita dan tujuan akhir hidup setiap orang. Dari segi lain ada rupa-rupa perbedaan karena adanya perbedaan persepsi serta keterbatasan manusia dalam upaya “mendalami” dan memahami serta menjalin hubungan dengan “Sang Ilahi” yang tidak terbatas dan tidak terjangkau oleh manusia. Oleh sebab itu timbullah berbagai macam iman kepercayaan dan agama. Maka sudah seharusnya  kemajemukan agama harus diterima, sebagai konsekwensi dari adanya iman dan agama.
Berbicara tentang kemajemukan sosial dan agama yang saat ini sering diperbincangkan di Indonesia maka para pemuda yang adalah penerus bangsa perlu memiliki peranan. Pemuda sering diidentikan dengan pergaulan, dalam hal ini bergaul dengan lingkungan sekitar, maka pemuda perlu menunjukan sikap dan tingkah laku yang baik. Dengan menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik maka pemuda juga dapat dipercayakan untuk memimpin bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang maju. Pemuda perlu berperan secara aktif untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa manusia ini harus hidup bersama, manusia saling membutuhkan, manusia juga saling berketergantungan satu dengan yang lainnya. Bahkan pemuda juga perlu membuka wawasan masyarakat bahwa sekalipun agama ini berbeda – beda namun masyarakat tidak perlu menunjukkan sikap diskriminasi bahkan fanatisme yang secara berlebihan. Apabila pemuda ingin menjelaskan kepada masyarakat mengenai pluralisme atau kemajemukan maka model yang harus pemuda gunakan adalah “Model Sintesis”, karena model sintesis ini memiliki sifat keterbukaan dan dialog. “Dalam dunia kontemporer-pascamodern ini, yang dipahami dengan apa yang disebut David Tracy sebagai pluralitas dan ambiguitas, kebenaran tidak akan dicapai dengan satu sudut pandang yang berupaya meyakinkan semua sudut pandang yang lain bahwa ia sendirilah yang benar.[3] Dengan demikian pemuda perlu menjelaskan kepada masyarakat bahwa apa yang menjadi kebenaran itu tidak dilihat dari satu sudut pandang saja melainkan dilihat dari sudut pandang yang lain.           
PENUTUP
Pluralitas bukan sebuah pemisah tapi malah sebaliknya, pluralitas merupakan sebuah warna dalam hidup ini agar kemudian membuat dunia menjadi lebih menarik dan baik untuk dinikmati dengan segala macam lika-liku yang sering terjadi, menempa orang-orang atau masyarakat untuk lebih dewasa dan lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Berbeda bukan berarti tidak dapat disatukan malah perbedaan itulah yang kemudian dapat menjadi senjata ampuh untuk saling mengisi dan melengkapi orang-orang disekitar kehidupan kita. Menjadi muda bukanlah sebuah halangan untuk membuat sebuah pembaharuan yang berarti tapi malah dengan kepemudaan ini, kita belajar untuk tidak dipandang sebelah mata, dengan kepemudaan ini orang boleh saja menganggap kita kecil dan lemah, kita tidak perlu menonjolkan diri tapi pembuktian akan kualitas dan kuantitas kitalah yang akan menjadi bahan pertimbangan penilaian masyarakat.

                 




[1] John Stott, “Isu – Isu Global” Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih,2005), hlm.52
[2] Eka Darmaputera (ed.), “Konteks Berteologi di Indonesia”, (Jakarta : Gunung Mulia, 2004), hlm. 113
[3] Stephen Bevans, “Model – Model Teologi Kontekstual”, (Maumere : Ledalero, 2002), hlm. 171

1 Korintus 14:1-25

1 Korintus 14:1-25
1Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat.  2 Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia.  3 Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur.  4 Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat.  5 Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun.  6 Jadi, saudara-saudara, jika aku datang kepadamu dan berkata-kata dengan bahasa roh, apakah gunanya itu bagimu, jika aku tidak menyampaikan kepadamu penyataan Allah atau pengetahuan atau nubuat atau pengajaran?  7 Sama halnya dengan alat-alat yang tidak berjiwa, tetapi yang berbunyi, seperti seruling dan kecapi bagaimanakah orang dapat mengetahui lagu apakah yang dimainkan seruling atau kecapi, kalau keduanya tidak mengeluarkan bunyi yang berbeda?  8 Atau, jika nafiri tidak mengeluarkan bunyi yang terang, siapakah yang menyiapkan diri untuk berperang?  9 Demikianlah juga kamu yang berkata-kata dengan bahasa roh: jika kamu tidak mempergunakan kata-kata yang jelas, bagaimanakah orang dapat mengerti apa yang kamu katakan? Kata-katamu sia-sia saja kamu ucapkan di udara!  10 Ada banyak entah berapa banyak macam bahasa di dunia; sekalipun demikian tidak ada satupun di antaranya yang mempunyai bunyi yang tidak berarti.  11 Tetapi jika aku tidak mengetahui arti bahasa itu, aku menjadi orang asing bagi dia yang mempergunakannya dan dia orang asing bagiku.  12 Demikian pula dengan kamu: Kamu memang berusaha untuk memperoleh karunia-karunia Roh, tetapi lebih dari pada itu hendaklah kamu berusaha mempergunakannya untuk membangun Jemaat.  13 Karena itu siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia harus berdoa, supaya kepadanya diberikan juga karunia untuk menafsirkannya.  14 Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa.  15 Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku.  16 Sebab, jika engkau mengucap syukur dengan rohmu saja, bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan "amin" atas pengucapan syukurmu? Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau katakan?  17 Sebab sekalipun pengucapan syukurmu itu sangat baik, tetapi orang lain tidak dibangun olehnya.  18 Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua.  19 Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.  20 Saudara-saudara, janganlah sama seperti anak-anak dalam pemikiranmu. Jadilah anak-anak dalam kejahatan, tetapi orang dewasa dalam pemikiranmu!  21 Dalam hukum Taurat ada tertulis: "Oleh orang-orang yang mempunyai bahasa lain dan oleh mulut orang-orang asing Aku akan berbicara kepada bangsa ini, namun demikian mereka tidak akan mendengarkan Aku, firman Tuhan."  22 Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman.  23 Jadi, kalau seluruh Jemaat berkumpul bersama-sama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa roh, lalu masuklah orang-orang luar atau orang-orang yang tidak beriman, tidakkah akan mereka katakan, bahwa kamu gila?  24 Tetapi kalau semua bernubuat, lalu masuk orang yang tidak beriman atau orang baru, ia akan diyakinkan oleh semua dan diselidiki oleh semua;  25 segala rahasia yang terkandung di dalam hatinya akan menjadi nyata, sehingga ia akan sujud menyembah Allah dan mengaku: "Sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu."










LATAR BELAKANG TEKS
Korintus merupakan salah satu kota terpenting di dunia Perjanjian Baru. Kota itu terletak di tengah-tengah negeri Yunani, pada suatu tempat yang strategis untuk perdagangan, baik perdagangan dalam negeri maupun ekspor-impor dengan negeri-negeri lain. Setelah dijajah oleh kekaisaran Romawi, Korintus menjadi penting juga sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan. Pastilah penduduk-penduduk kota seperti itu terdiri dari bermacam-macam bangsa, ras dan suku: orang-orang Yunani asli, orang Romawi dari golongan pemerintahan, orang-orang Yahudi yang diusir dari tempat lain (misalnya Kis. 18:2) dan banyak bangsa lain yang datang ke sana untuk urusan perdagangan. Di kota itu juga terdapat bermacam agama, termasuk agama-agama Roma dan Yunani (dunia Barat), iman kepercayaan dari dunia Timur dan agama Yahudi dari Palestina. Boleh dikatakan Korintus adalah kota internasional.
Jemaat Kristen di Korintus juga terdiri dari beberapa bangsa dan golongan masyarakat, sebagaimana nampak dalam surat Paulus kepada mereka (1 Kor. 1:26; 7:18-21; 10:1 + 12:2). Namun bagi Paulus hal yang jauh lebih penting daripada perbedaan-perbedaan itu ialah kesatuan jemaat Kristen sebagai orang-orang yang dipanggil dan dikuduskan dalam Kristus (1 Kor.1:2; 12:12-13).[1]
ü  Penulis dan Tahun Penulisan
Surat 1 Korintus di tulis oleh Paulus, antara tahun 53-57 M di kota Efesus (1 Kor. 16:8). Sebenarnya dia pernah menulis surat kepada jemaat di Korintus sebelumnya (1 Kor. 5:9), tetapi surat tersebut tidak dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru dan naskahnya sudah hilang.[2] Paulus pergi ke Korintus sekitar tahun 51 M pada waktu perjalanan misinya yang kedua. Di situ Paulus tampaknya menyadari implikasi dari memusatkan perhatian kepada orang-orang Yunani dalam rangka memenangkan orang-orang Yahudi. Korintus merupakan tempat yang sangat cocok untuk mencoba membangun kebenaran karya misi ini. Paulus diberitakan tinggal di Korintus lebih lama (sekitar delapan belas bulan menurut Lukas dalam Kis. 18:11) daripada di tempat-tempat lain yang ia datangi untuk pewartaan. Hubungannya dengan orang Korintus lebih menyerupai hubungan seorang pengkhotbah ulung daripada seorang musafir. Singkatnya,ia hidup dan bekerja di antara orang Korintus dan seluruh hubungan kerasulannya seperti tercermin dalam hubungan surat-menyurat dengan mereka dicirikan oleh semua segi hubungan dari hari ke hari, saling menukar pengalaman, lengkap dengan keakraban, ketegangan dan kekecewaan.[3]

ü  Pembaca
Sekelompok orang Kristen tinggal di Korintus sebelum Paulus bergabung dengan mereka. Akwila dan Priskila adalah anggota terkemuka dari jemaat dan sudah memegang tampuk pimpinan (Kis. 18: 2-3). Pasangan inilah yang menyelesaikan pengajaran dari Apolos sesudah Paulus menuju Efesus (Kis. 18:24-28). Jemaat Korintus rupanya terdiri dari orang-orang Kristen, baik Yahudi maupun Yunani.  Surat 1 Korintus ditujukan kepada orang-orang Kristen yang ada di Korintus, karena Paulus mendengar ada beberapa persoalan yang timbul di dalam jemaat Korintus. Persoalan tentang perpecahan dan kebejatan di dalam jemaat, dan tentang persoalan-persoalan seks dan perkawinan, persoalan hati nurani, tata tertib dalam jemaat, karunia-karunia Roh Allah, dan tentang bangkitnya orang mati. Dengan pandangan yang dalam, Paulus menunjukkan bagaimana Kabar Baik dari Allah itu untuk menyoroti persoalan-persoalan tersebut.[4] Surat 1 Korintus juga bukan saja diterima serta dibaca oleh orang-orang Kristen yang ada di Korintus melainkan diterima serta dibaca oleh seluruh orang Kristen yang ada di dunia.
 
ü  Maksud Penulisan
Ada dua factor yang berada di belakang penulisan Surat 1 Korintus ini yakni, pertama, Paulus telah menerima laporan-laporan dari jemaat/gereja, yang membuatnya gelisah (1 Kor. 1:11; 5:1). Kedua, utusan-utusan datang dari Korintus, dengan membawa sepucuk surat untuk meminta nasihatnya mengenai berbagai macam permasalahan (1 Kor. 7:1; 16:17). Dalam surat itu, Paulus menangani lima masalah yang dilaporkan kepadanya:
1.      Perpecahan di dalam gereja
2.      Kasus inses (hubungan seksual antar anggota keluarga dekat)
3.      Kasus pengaduan ke pengadilan di antara sesama anggota jemaat
4.      Penyalahgunaan ‘kemerdekaan’ orang Kristen
5.      Suasana kacau yang umumnya terjadi pada saat ibadah di gereja, bahkan saat perjamuan kudus.
Ia juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditulis oleh orang-orang Korintus mengenai:
1.      Masalah hidup menikah dan melajang
2.      Masalah makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala, dan fungsi social yang diselenggarakan di dalam kuil-kuil
3.      Masalah perlu tidaknya wanita menggunakan kerundung, dan kedudukan wanita di pertemuan-pertemuan umum
4.      Masalah karunia-karunia roh
5.      Makna kebangkitan orang mati.[5]

ü  Konteks Penulisan
Jemaat atau gereja Kristen di Korintus, sama seperti kotanya, terdiri dari berbagai campuran suku bangsa dan tindakan social. Orang Yahudi hanya sedikit, sedangkan orang non-Yahudi lebih banyak: beberapa diantaranya orang kaya dan orang terkemuka, tetapi kebanyakan dari golongan kelas  bawah. Sebagian besar orang yang bertobat itu berasal dari latar belakang kafir (penyembah berhala) yang permisif, membolehkan apa saja. Mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Namun, sebagaimana lazimnya gaya hidup Yunani, mereka membanggakan diri atas kecerdasan intelektual mereka. Mereka mengelompokkan diri untuk melakukan perdebatan, namun mereka merupakan kelompok yang tidak erat hubungannya satu sama lain.[6]











TAFSIRAN

Ay.1 Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat.
Ayat pembukaan ini merupakan penegasan terhadap isi dari 12:31b-13:13 dengan maksud untuk peralihan. Kejarlah merupakan istilah yang lebih kuat daripada usahakan. Dalam ayat ini Paulus memiliki harapan agar orang-orang Kristen yang ada di Korintus dapat “mengejar kasih”, Orang percaya yang mempunyai kasih yang sejati bagi orang lain dalam tubuh Kristus harus merindukan karunia rohani supaya sanggup menolong, menghibur, mendorong, dan menguatkan mereka yang membutuhkan (bd. 1Kor 12:17). Mereka tidak akan dengan pasif menunggu Allah mengaruniakan karunia Roh (1Kor 12:7-10). Sebaliknya, mereka harus merindukan dengan sungguh-sungguh, berusaha, dan berdoa memohon karunia itu, khususnya yang bersifat mendorong, menghibur, dan menguatkan (ayat 1Kor 14:3,13,19,26).[7]

Ay.2 Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia
Ayat ini menunjukkan bahwa penggunaan utama bahasa roh, baik dalam jemaat maupun secara pribadi, adalah terutama untuk berbicara kepada Allah dan bukan kepada manusia. Ketika bahasa roh ditujukan kepada Allah, maka pembicara itu sedang berhubungan dengan Allah oleh Roh Kudus dalam bentuk doa, pujian, nyanyian, ucapan berkat, dan ucapan syukur. Yang diucapkan itu adalah "hal-hal yang rahasia", yaitu hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh pembicara itu dan oleh para pendengar (bd. ayat 1Kor 14:2,13-17). Jadi intinya hanya Allah yang mengerti bahasa roh, kecuali jika ditafsirkan maka pendengar akan mengerti apa yang diucapkan oleh orang yang berbicara. Implikasinya adalah bahwa bahasa roh, bila ditafsirkan, diarahkan kepada manusia. Pandangan ini didukung oleh pernyataan Paulus yang menyatakan bahwa berkata-kata dengan bahasa roh tidak diucapkan kepada manusia karena "tidak ada seorang pun yang mengerti"
.
Ay.3 Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur. 
Karunia bernubuat dalam jemaat didorong oleh Roh Kudus, bukan terutama untuk menubuatkan masa depan, melainkan untuk membangun iman orang percaya, kehidupan rohani, dan keputusan moral untuk tinggal setia kepada Kristus dan ajaran-ajaran-Nya. Akan tetapi, nubuat bukanlah menyampaikan suatu khotbah yang telah dipersiapkan, tetapi menyampaikan pesan secara spontan di bawah dorongan Roh demi pembangunan setiap pribadi ataupun jemaat

Ay.4 Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat.   
Ayat ini jelas berkaitan dengan ayat 2 dan 3 dimana orang yang berbahasa roh tanpa penafsiran tentunya hanya membangun dirinya sendiri,dengan kata lain mengokohkan iman dan kehidupan rohani dari orang tersebut. Hal ini dikarenakan bahasa yang diucapkan oleh orang yang berbahasa roh itu ditujukan kepada Allah dan merupakan hal-hal yang rahasia. Dengan demikian apa yang diucapkan tidak dapat dimengerti oleh satu orangpun. Lain halnya dengan bernubuat, bernubuat dapat membangun diri sendiri dan orang lain karena pesan yang disampaikan itu menggunakan bahasa yang dimengerti oleh manusia bahkan ditujukan kepada manusia. Dengan bernubuat maka orang merasakan persekutuan dengan sesame.

Ay.5 Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun.
Dalam bagian ini, Paulus tidak meremehkan berbicara dalam bahasa roh, karena menurut Paulus bahasa roh itu adalah sarana untuk seseorang berkomunikasi dengan Allah dalam bentuk berdoa maupun ucapan syukur. Bahasa roh juga sama dengan bahasa yang di pakai di seluruh dunia, bahasa roh bisa mengeluarkan makna hanya jika bahasa roh itu ditafsirkan. Lain halnya dengan bernubuat, bernubuat itu dilakukan tanpa penafsiran, karena orang lain mengerti apa yang disampaikan. Orang yang bernubuat dikatakan lebih berharga karena apa yang disampaikan dimengerti dan dipahami oleh orang lain, dapat memotivasi orang lain dan dapat membangun kerohanian orang lain. orang yang berbahasa rohpun dapat dikatakan lebih berharga jika orang tersebut memiliki karunia menafsir sehingga apa yang dikatakan dimengerti dan dipahami oleh orang lain, juga dapat memotivasi dan membangun kerohanian orang lain.

Ay.6 Jadi, saudara-saudara, jika aku datang kepadamu dan berkata-kata dengan bahasa roh, apakah gunanya itu bagimu, jika aku tidak menyampaikan kepadamu penyataan Allah atau pengetahuan atau nubuat atau pengajaran? 
Berkata-kata dengan bahasa roh dapat diarahkan kepada kalangan orang Kristen. Paulus mengandaikan suatu keadaan di mana ia datang kepada jemaat Korintus dan berkata-kata dengan bahasa roh dalam kebaktian. Perkataan itu tidak ada gunanya bagi mereka "jika" ia tidak menyampaikan suatu penyataan atau pesan yang mengandung petunjuk. Susunan dari ayat ini mengemukakan bahwa perkataan Paulus dalam bahasa roh, jika ditafsirkan, akan terdiri atas suatu berita yang berisi penyataan, pengetahuan, nubuat atau petunjuk kepada jemaat. Penafsiran ini didukung oleh ayat 1Kor 14:8, di mana Paulus memberikan suatu analogi mengenai sebuah nafiri yang membawa berita dan peringatan bersiap untuk bertempur. Dengan kata lain, berkata-kata dengan bahasa roh yang disertai penafsiran dapat menyampaikan suatu berita kepada umat Allah, misalnya suatu berita untuk bersiap-siap dalam peperangan rohani melawan Iblis, dosa, dan unsur-unsur yang berdosa dari dunia, atau berita itu dapat menantang kita untuk siaga bagi kedatangan Kristus yang kedua.

Ay.7-9 Sama halnya dengan alat-alat yang tidak berjiwa, tetapi yang berbunyi, seperti seruling dan kecapi bagaimanakah orang dapat mengetahui lagu apakah yang dimainkan seruling atau kecapi, kalau keduanya tidak mengeluarkan bunyi yang berbeda?  8 Atau, jika nafiri tidak mengeluarkan bunyi yang terang, siapakah yang menyiapkan diri untuk berperang? 9 Demikianlah juga kamu yang berkata-kata dengan bahasa roh: jika kamu tidak mempergunakan kata-kata yang jelas, bagaimanakah orang dapat mengerti apa yang kamu katakan? Kata-katamu sia-sia saja kamu ucapkan di udara! 
Paulus menggunakan gambaran dari dunia music. Aransemen dari bermacam nada memberi makna pada suara yang dikeluarkan oleh alat music tersebut (seruling dan kecapi). Jika nadanya tidak dapat dibedakan maka alatnya tidak berguna. Begitu juga nafiri harus mengeluarkan suara dengan urutan tertentu supaya memberi tanda kepada pasukan untuk bertempur. Jika tidak, yang muncul tidak hanya kekacauan tetapi juga keributan. Demikian juga dengan berbicara dalam bahasa roh, jika suara yang dikeluarkan tanpa adanya penafsiran maka tidaklah berguna bahkan tidak memiliki makna, karena apa yang diucapkan itu tidak dimengerti dan kedengarannya asing (bahasa asing). Menurut Paulus apa yang dipahami dan dilakukan oleh orang-orang Korintus terkesan menggelikan karena mereka hidup dalam kesia-siaan.

Ay.10-11 Ada banyak entah berapa banyak macam bahasa di dunia; sekalipun demikian tidak ada satupun di antaranya yang mempunyai bunyi yang tidak berarti.  11 Tetapi jika aku tidak mengetahui arti bahasa itu, aku menjadi orang asing bagi dia yang mempergunakannya dan dia orang asing bagiku.
Selain menggunakan gambaran dari dunia music, Paulus juga menggunakan gambaran dari dunia bahasa. Dimana bahasa memiliki fungsi sebagai sarana komunikasi yang memungkinkan hubungan antarmanusia. Bahasa dituntut agar dapat dimengerti sehingga menjadi alat komunikasi yang sesuai. Jika kita tidak dapat menafsirkan suara-suara dari bahasa lain  maka suara-suara itu tetap asing bagi kita, dan tidak mungkin kita berkomunikasi dengan orang yang mengeluarkan suara yang asing itu. Oleh karena itu sebuah percakapan tidak berguna bagi pendengar jika pendengar tidak memahaminya.

Ay.12  Demikian pula dengan kamu: Kamu memang berusaha untuk memperoleh karunia-karunia Roh, tetapi lebih dari pada itu hendaklah kamu berusaha mempergunakannya untuk membangun Jemaat. 
Kalimat “demikian pula dengan kamu” mengawali kesimpulan terhadap pokok yang dikemukakan mengenai gambaran dunia music dan gambaran dunia bahasa. Dalam ayat ini Paulus mendesak orang-orang yang bersemangat dalam hal-hal rohani untuk memfokuskan diri mereka dalam membangun kerohanian sesame (jemaat). Karena dalam menggunakan karunia roh secara khusus bahasa roh, bukan saja berkaitan dengan Allah tetapi harus diinterpretasikan kepada sesama.

Ay. 13-14 Karena itu siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia harus berdoa, supaya kepadanya diberikan juga karunia untuk menafsirkannya. 14 Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa.
Dalam ayat ini Paulus menegaskan kepada para pengguna bahasa roh (orang yang berbahasa roh) untuk menyadari bahwa karunia ini memerlukan pelengkap, oleh karena itu orang tersebut hendaknya meminta karunia penafsiran dari Allah. Bahasa roh terbatas dalam dua hal penting, Pertama, bahasa roh itu tidak melibatkan orang lain yang mungkin ada dalam sebuah perkumpulan dan tanpa penafsiran bahasa roh tidak akan berarti apa-apa kepada orang percaya lain. Kedua, bahasa roh tidak melibatkan seluruh pribadi; hanya roh, bukan pikiran yang terlibat. Orang Yunani membuat pembedaan tidak hanya antara tubuh dengan roh, tetapi juga antara roh dengan pikiran. Pikiran menangkap hal-hal yang dapat dimengerti. Meskipun dengan bahasa roh kita berdoa dengan  Roh Kudus, karunia penafsiran juga membantu kita untuk berdoa dengan pikiran.

Ay.15-17 Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku.  16 Sebab, jika engkau mengucap syukur dengan rohmu saja, bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan "amin" atas pengucapan syukurmu? Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau katakan?  17 Sebab sekalipun pengucapan syukurmu itu sangat baik, tetapi orang lain tidak dibangun olehnya.
Dalam ayat ini Paulus menunjuk kepada pengalaman pribadinya, kepada penggunaan bahasa roh secara pribadi. "Aku berdoa dengan rohku" berarti berdoa dengan bahasa roh, dengan menggunakan rohnya sendiri oleh dorongan Roh Kudus. Roh orang percaya berdoa sementara Roh Kudus memberikan apa yang harus dikatakannya (bd. 1Kor 12:7,11; Kis 2:4). Di sini Paulus membicarakan tentang penggunaan bahasa roh secara pribadi yang ditujukan kepada Allah. Paulus menggunakan bahasa roh tidak hanya untuk berdoa, tetapi juga untuk menyanyi, memuji, dan mengucapkan syukur kepada Allah (ayat 1Kor 14:14-16). "Berdoa dengan akal budiku" berarti berdoa dan memuji dengan akal budinya sendiri dalam bahasa yang telah dipelajarinya, juga oleh dorongan Roh Kudus. Disini Paulus menantang pandangan orang Korintus bahwa berbicara dalam bahasa roh jauh lebih unggul karena itu menarik seseorang dari tubuh dan pikiran. Jawaban tradisional dari jemaat terhadap kata-kata pemimpin dalam doa adalah “amin”, yang berarti menerima sesuatu sebagai kuat, mengemukakan iman bahwa apa yang dikatakan adalah benar (2 Kor. 1:20). Supaya “amin” ini mempunyai makna sesuatu, para anggota jemaat harus memahami kenyataan yang mereka terima. Jika bahasa hanya memuji Allah tetapi gagal berbicara kepada orang lain, jemaat tidak perlu menjawab “amin”. Pujian demikian dapat disampaikan kepada Allah secara pribadi.

Ay.18-19  Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua.  19 Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.  
Ayat ini merupakan sebuah komentar Paulus yang berkaitan dengan orang-orang Korintus, bahwa Paulus bersyukur karena ia mengungguli setiap orang Korintus dalam karunia bahasa roh. Paulus menganggap karunia bahasa roh sebagai suatu bagian yang penting dari kehidupan rohaninya, yang sering diwarnai dengan doa, nyanyian, pujian, dan pengucapan syukur dengan bahasa roh. Dia berbicara dengan penuh hormat dan rasa syukur bagi penyataan Roh ini. Beberapa orang telah menafsirkan ayat ini dengan pengertian bahwa Paulus mengetahui lebih banyak bahasa yang dikenal manusia daripada orang Korintus. Akan tetapi, penafsiran ini salah, karena kata "lebih" (Yun. _mallon_) bukan kata sifat yang menerangkan kata benda "bahasa roh", melainkan suatu kata keterangan perbandingan yang menerangkan kata kerja "berkata-kata". Demikianlah, Paulus tidak mengatakan "Aku berkata-kata dengan lebih banyak bahasa", tetapi sebaliknya, "Aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih (yaitu, lebih sering) daripada kamu semua". Tetapi dalam pertemuan jemaat, Paulus lebih suka mengucapkan beberapa kata yang dapat dimengerti orang daripada berkata-kata dengan seribu kata dalam bahasa roh tanpa penafsiran. Ayat 1Kor 14:18-19 mengandung makna bahwa Paulus berkata-kata dengan bahasa roh lebih sering dalam ibadah pribadinya daripada dalam ibadah umum.

Ay.20 Saudara-saudara, janganlah sama seperti anak-anak dalam pemikiranmu. Jadilah anak-anak dalam kejahatan, tetapi orang dewasa dalam pemikiranmu! 
Ayat ini ditujukan kepada orang-orang Korintus yang bersifat kekanak-kanakan dalam kecongkakan mereka. Dengan suatu sentuhan ironis, Paulus menasihatkan mereka untuk bersifat kekanak-kanakan dalam hal kejahatan (sikap), tetapi hendaknya tumbuh secara mental dan spiritual. Persaingan orang-orang Korintus dalam hal karunia rohani menunjukkan betapa mereka belum dewasa (1 Kor.3:1-4; 13:11).

Ay.21-22 Dalam hukum Taurat ada tertulis: "Oleh orang-orang yang mempunyai bahasa lain dan oleh mulut orang-orang asing Aku akan berbicara kepada bangsa ini, namun demikian mereka tidak akan mendengarkan Aku, firman Tuhan." 22 Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman.    
Paulus memasukkan sebuah kutipan bebas dari Perjanjian Lama untuk menunjukkan bahwa bahasa roh dimaksudkan sebagai tanda kehadiran Allah bersama orang-orang bukan Yahudi. Di dalam Yesaya 28:11,12, bagian yang dikutip, bangsa Asyur disebut sebagai orang-orang yang mempunyai bahasa lain. Jadi, karunia ini terutama dirancang bagi orang-orang yang belum percaya. Di dalam Kisah Para Rasul, karunia ini disebutkan sebanyak empat kali (kata "melihat" di dalam Kis. 8:18 tampaknya menunjukkan bahwa di Samaria terdapat tanda lahiriah), dan di dalam setiap peristiwa ada orang Yahudi yang hadir. Allah bermaksud menunjukkan kepada kelompok orang yang tidak mau percaya itu bahwa Dia ada bersama gerakan yang baru itu. Jelas bahwa bahasa-bahasa yang dikenal yang dipakai pada hari Pentakosta, merupakan satu-satunya tanda yang memadai bagi orang-orang Yahudi yang sulit diyakinkan itu. Bahasa roh dalam pertemuan jemaat menjadi suatu tanda yang negatif kepada orang yang tidak percaya karena bahasa roh itu menunjukkan bahwa orang yang tidak percaya itu terpisah dari Allah dan tidak dapat mengerti apa yang sedang terjadi (ayat 1Kor 14:21,23). Akan tetapi, nubuat adalah suatu tanda bagi orang percaya, karena mereka menyadari bahwa itu merupakan karya Roh Kudus yang adikodrati dan bukti bahwa Allah sedang bekerja di dalam jemaat (ayat 1Kor 14:24-25). Bahasa roh bisa menjadi tanda juga bagi orang percaya yang menunjukkan bahwa Roh sedang dicurahkan (bd. Kis 10:44-46; 11:15-17) dan dimanifestasikan di antara umat Allah (bd. 1Kor 12:7,10).

Ay.23-25 Jadi, kalau seluruh Jemaat berkumpul bersama-sama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa roh, lalu masuklah orang-orang luar atau orang-orang yang tidak beriman, tidakkah akan mereka katakan, bahwa kamu gila? 24 Tetapi kalau semua bernubuat, lalu masuk orang yang tidak beriman atau orang baru, ia akan diyakinkan oleh semua dan diselidiki oleh semua;  25 segala rahasia yang terkandung di dalam hatinya akan menjadi nyata, sehingga ia akan sujud menyembah Allah dan mengaku: "Sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu."
Dalam bagian ini Paulus mempertanyakan bagaimana dengan orang-orang kafir yang ikut berkecimpung dengan orang-orang percaya. Orang percaya dan orang kafir di Korintus memiliki perbedaan dengan orang percaya dan orang kafir yang ada di Tesalonika, karena memiliki interaksi yang mudah dan nyaman. Di Korintus, ada beberapa orang percaya yang menikah dengan orang kafir (7:12-16). Bahkan Paulus pun dapat menghadiri undangan untuk makan malam di rumah seorang kafir (10:27-29). Dan orang-orang kafir ternyata kadang-kadang hadir pada acara-acara ibadah (14:23-24). Paulus pun menyatakan keprihatianan bahwa seorang kafir yang menemukan ibadah yang kacau dalam jemaat di Korintus akan berpikir bahwa pengikut Paulus merupakan orang yang gila (14:23).  Bahkan lebih buruk lagi jika orang kafir tidak mengerti apa yang diucapkan oleh orang percaya yang dapat mengarahkan mereka pada penegasan akan kehadiran Allah, atau dengan kata lain, kata-kata yang diucapkan oleh orang percaya tidak dapat mengokohkan iman dari orang kafir. Jadi, Paulus mau menegaskan bahwa orang percaya memiliki kewajiban bukan hanya memberikan perhatian kepada orang kafir,melainkan orang percaya juga perlu mengarahkan orang kafir untuk memahami kebenaran Allah itu. Teks tidak hanya komentar tentang orang-orang kafir, tetapi juga menyebutkan orang-orang "yang tidak mengerti" (NIV), atau dengan istilah yang lebih kompleks "orang luar" (NRSV)-(14:16, 23-24). Terjemahan NRSV "orang luar" dipahami sebagai gambaran dari orang yang tidak percaya. Istilah (idiotes) menggambarkan orang yang "tidak terampil" (lih. 2 Kor 11:6), yang merupakan amatir, orang yang tidak terlatih, yang adalah non-pakar yang dibedakan dari spesialis. Hal ini tidak mengharuskan kita berpikir tentang orang-orang yang ditunjuk sebagai "orang luar" untuk komunitas orang percaya, mereka hanya mungkin kurang mahir, kurang terampil, kurang dilatih dari beberapa orang percaya lainnya. Dalam 14:16 orang perwakilan (orang bisa) digambarkan sebagai idiotes, orang yang hadir dalam persekutuan tetapi tidak memahami apa yang diucapkan oleh orang-orang percaya yang ada dalam persekutuan itu. Paulus secara tegas menyatakan bahwa orang percaya perlu mengarahkan orang kafir atau orang luar untuk ada dalam persekutuan mereka bahkan untuk menjadi orang percaya. Sehingga ayat 25 menjadi nyata bahwa orang yang tidak percaya atau orang kafir menjadi percaya dan mengakui bahwa Allah pun hadir di dalam hidup mereka.

Dari hasil tafsiran yang ada maka skopus atau makna yang kelompok dapat simpulkan adalah “Gereja sebagai Nabi yang membawa Allah kepada dunia”









REFLEKSI

Paulus mengekspresikan “kasih” sebagai yang tertinggi dalam penulisannya. Maksudnya yaitu kasih dapat ditempatkan dalam berbagai aspek di dalam kehidupan masyarakat serta kasih juga merupakan symbol dari kehidupan yang penuh iman. Kasih adalah figur yang benar-benar sangat diperlukan dalam kehidupan orang percaya (13:03); "Kasih selalu melindungi" (NIV); "Kasih menutupi segala sesuatu" (NRSV); "Kasih melewati atas segala sesuatu dalam keheningan" (13:7 a). Gereja memiliki kewajiban untuk menyatakan kasih yang penuh dengan keadilan bagi sesamanya. Dengan kasih, orang bukan saja mempedulikan diri sendiri tetapi juga peduli dengan orang lain bahkan rela berkorban untuk orang lain. Paulus secara tegas menyatakan bahwa seseorang tentu tidak akan merasa sejahtera, jika orang lainpun tidak merasakan sejahtera, karena kita semua adalah tubuh Kristus. Jadi ada lingkaran untuk mengasihi, mulai dari kasih Allah terhadap kita, yang mengasihi kita dan memperbaharui kita secara utuh, kemudian dari kasih Allah itu dapat diekspresikan oleh kita kepada orang lain. Dalam 1 Korintus 14 sangatlah jelas bahwa jika seseorang memiliki kasih, maka orang tersebut tentu juga akan memperoleh karunia-karunia Roh, yaitu karunia untuk membangun orang lain di dalam sebuah persekutuan. Jika kita mengingat perkataan Paulus tentang “Kasih membangun” (1 Kor.8:1-2) dan dihubungkan dengan 1 Korintus 13 dimana kasih itu dipuji. Maka ketika kasih bekerja di dalam hidup masyarakat maka masyarakatpun dibangun. Menurut Paulus, jika kita ingin mencari sesuatu yang utama maka hendaknya yang utama itu dapat mendidik gereja (1 Kor.14:12).











KEPUSTAKAAN

Baker, L. David. Roh dan Kerohanian dalam Jemaat, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), hlm. 15-16

Dunerman, E.M. Pembimbing ke dalam Perjanjian baru, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2009), hlm. 98-103


Handbook to the Bible,(Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004), hlm. 663-664

Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm.273-277, 302-302

The New Interpreter’s Bible Volume X, (Nashville, Abingdon Prees, 1994), hlm. 956-966




[1] David L. Baker, Roh dan Kerohanian dalam Jemaat, hlm. 15
[2] Ibid, hlm. 15
[3] Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru, Lembaga Biblika Indonesia, hlm. 273-274
[4] Ibid, hlm. 274-275
[5] Handbook to the Bible, hlm. 663-664
[6] Ibid, hlm. 663
[7] The New Interpreter’s Bible, hlm. 956